Wednesday, November 14, 2007

Sejarah pet food, cat food... cat food... dan cat food. (bag II)

Pada bagian I artikel dengan judul yang sama sudah dijelaskan bagaimana asal mula industri pet food, terutama dog food dan cat food sejak awal sampai menjadi industri bernilai ratusan juta US $.

Sebagai-mana bidang usaha yang lain, tingkat keuntungan yang menarik ditambah dengan kemungkinan pertumbuhan pasar yang besar menarik lebih banyak lagi "pemain" baru dalam bidang ini.

Kesamaan industri baru ini dengan industri yang lain tidak terbatas hanya pada daya tariknya bagi para investor, namum juga pada berlakunya teori-teori umum seperti adanya lebih banyak produsen akan menimbulkan persaingan-persaingan dalam memperebutkan pangsa pasar (market share) . Produsen-produsen tersebut tidak hanya bersaing dengan memberikan harga yang lebih kompetitif, namun juga berusaha meningkatkan image produk mereka, meningkatkan kualitas produk, memberikan nilai lebih dalam pelayanan dengan membentuk dan mensupport "klub-klub" yang beranggotakan konsumen mereka, memberikan berbagai macam bentuk hadiah apabila breeder merekomendasikan produk mereka kepada orang tua baru dari anak-anak kucing yang dire-home, dan berbagai cara lainnya.

Pada awal abad 20 Raw Foodism mulai berkembang dan penelitian untuk mendukung atau pun menolak pola makan ini mulai dilakukan beberapa dekade kemudian. Pada tahun 1933 E.B Forbes mengatakan dalam makalahnya bahwa memasak merusak kekenyalan makanan, sehingga makanan menjadi mudah melekat di gigi kemudian mengalami pembusukan yang merusak gigi. Lebih jauh lagi memasak membuat makanan menjadi lebih lembut sehingga mengurangi peran gigi dalam mengunyah - yang lambat laun akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan jaringan darah disekitar rahang. Hasil akhirnya adalah kerusakan struktur gigi dan rahang.

Pada tahun 1936 seorang dokter gigi bernama Weston A. Price menuliskan hasil pengamatannya dalam makalah berjudul Nutrition and Physical Degeneration dimana dia mengungkapkan bahwa pada generasi pertama yang merubah pola makan dengan meninggalkan makanan tradisional yang kaya nutrisi struktur gigi dan rahang mereka tidak mengalami masalah, namun anak-anak mereka akan mulai memiliki masalah struktur gigi dan rahang, serta pembusukan gigi yang diakibatkan pola diet modern mereka yang tidak cukup memberikan asupan gizi.

Perkembangan paham raw foodism pada akhirnya meluas dan secara umum kita mengenal istilah "back to nature". Banyak breeder, dokter hewan dan peneliti yang mulai menganalisi apakah cat food yang dihasilkan oleh pet food industry benar-benar mendekati apa yang sudah dimakan oleh kucing selama proses evolusinya sampai menjadi bagian kehidupan manusia.

Meskipun diet kucing di hutan lebih banyak terdiri dari tikus, namun tikus yang dimakan oleh seekor kucing tiap hari tidak mengandung nutrisi yang sama persis. Tikus-tikus yang menjadi mangsa kucing kemungkinan sudah memakan makanan-makanan yang berbeda-beda. Penelitian menunjukkan bahwa tikus di hutan yang tidak terjamah manusia tidak memakan biji-bijian seperti yang dimakan manusia;jagung, beras, beras merah, atau pun gandum. Saat pohon-pohon di hutan berkembang, tikus seperti juga beberapa jenis burung berkesempatan memakan benih-benih yang banyak mengandung minyak dan kacang-kacangan serta hijauan segar - disamping serangga dan buah-buahan yang merupakan menu diet utama mereka.

Dengan perut yang beratnya hanya berkisar antara 5-9 % keseluruhan berat tubuh mereka dan diet yang lebih banyak tersusun atas serangga dan buah-buahan, tikus hanya memakan sedikit sekali benih-benih dari pepohonan hutan - sekitar 1-3% dari berat tubuhnya, itu pun hanya pada waktu-waktu tertentu.

Berangkat dari perkembangan pengetahuan mengenai kucing dan pola diet alami kucing industri cat food mengalami perkembangan-perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari bermunculannya merk-merk cat food yang mengklaim formulanya sebagai formula yang holistic, kemudian adanya merk-merk yang menggunakan "human quality meat", bahkan organic meat. Beberapa merk bahkan memilih untuk mendapatkan sertifikasi dari badan-badan selain AAFCO - ada yang mendapatkan sertifikasi USDA (United States Department of Agriculture), yang lain mendapatkan sertifikasi USFDA (United States Food and Drugs Administration). Apabila di buku-buku tentang memelihara kucing yang sudah lama diterbitkan kita menemukan bahwa makan kucing terdiri dari Premium Quality, Branded Quality dan Generic Quality; saat ini kita bisa menemukan buku-buku atau artikel-artikel yang membagi cat food ke dalam lebih banyak kelompok berdasarkan kualitasnya. Selain itu di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa juga bermunculan industri-industri skala rumah tangga yang memproduksi " home made cat food", baik itu dalam bentuk sederhana yang terdiri dari daging yang sudah dipotong-potong dan tulang serta organ dalam yang sudah digiling, sampai dengan bentuk yang sudah siap untuk dihidangkan - sudah ditambahkan dengan supplemen-supplemen yang diperlukan.

Penarikan banyak merk pet food (dog food dan cat food) beberapa waktu yang lalu merupakan ujian bagi merk-merk cat food produksi pabrikan-pabrikan besar. Kalau sebelumnya kita sering mendengar bahwa masing-masing merk memproduksi bahan-bahan yang mereka gunakan sendiri (ayam, domba, sapi, sayuran dan biji-bijian dari farm milik sendiri) maka insiden racun tikus dan melamin dalam jagung yang mereka gunakan membuktikan bahwa biji-bijian tersebut tidak hanya tidak mereka produksi sendiri, namun berasal dari negara yang sangat jauh - yang mampu menyuplai jagung dengan harga lebih murah bahkan setelah ditambah biaya pengiriman.
Pertanyaan selanjutnya menjadi; apakah ada produsen cat food yang benar-benar peduli pada kesehatan konsumennya (tentu saja maksud saya konsumen yang memakan - bukan konsumen yang membeli....)?. Bukan sekedar mencetak keuntungan sebesar mungkin dengan menggunakan bahan termurah dan hanya "memberikan yang terbaik" dalam program iklan mereka?

Kalau saya menempatkan diri di posisi produsen cat food maka sebelum saya meningkatkan kualitas produk, pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan ke diri sendiri adalah:"siapa yang membeli produk saya? Apakah para pembeli tersebut cukup "canggih" dalam memilih produk? Apa mereka cukup memiliki pengetahuan atau setidaknya ide dasar mengenai apa yang dibutuhkan oleh kucing-kucing mereka?". Selama jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah "tidak", sepanjang promosi penjualan yang gencar plus nilai tambah - nilai tambah sampingan lainnya memberikan kontribusi lebih besar daripada kualitas produk; kenapa produsen harus repot-repot meningkatkan kualitas produknya? Toch sejarah industri pet food membuktikan bahwa bahkan dengan hanya menggunakan kuda-kuda sisa perang dan hewan yang mati karena sakit atau pun di euthanasia oleh penampungan hewan pun industri ini masih berkembang menjadi industri besar?